Ik ben Rizaldi, Mi chiamo Rizaldi, Me llamo Rizaldi, Ich Ben Rizaldi, Je m'appel Rizaldi

Ik ben Rizaldi, Mi chiamo Rizaldi, Me llamo Rizaldi, Ich Ben Rizaldi, Je m'appel Rizaldi

Selasa, 25 Januari 2011

Kulah Sastra santai? Gak guna? Kata siapa? pasti tidak luas wawasannya :)




'Kuliah sastra di UI? pasti karena tidak mendapatkan pilihan pertama ketika SPMB'


Lelah untuk menjawabnya, banyak sekali yang berkomentar seperti itu ketika saya memutuskan untuk kuliah di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) dengan jurusan Sastra Belanda. Memang ini pilihan saya kok, tidak ada yang memaksa saya. Tujuan saya adalah bisa berbahasa asing lain disamping bahasa Inggris. Saya di sini ingin bercerita mengenai suka duka saya belajar di FIB Universitas Indonesia, tepatnya jurusan Sastra Belanda.Jujur, pada awal kuliah, saya sempat berpikir dan bertanya-tanya "aduh, ini jurusan pas atau tidak ya dengan saya?'. Rasa jenuh pun sempat menghampiri, rasa jenuh yang datang ketika di kelas bermain-main dan diperlakukan seperti anak kecil. Ternyata, setelah saya berada di tingkat 4 saya baru sadar, memang begitulah cara belajar bahasa asing yang paling efektif. Sebut saja kuliah itu "Pengajaran Bahasa Asing', dari situ saya belajar cara mengajari orang berbahasa asing karena di kuliah itu kita dituntut untuk menjadi pengajar yang baik. Awal-awal kuliah saya juga sempat berpikir 'ketika lulus nanti, saya akan kerja apa?'. Wah ternyata seiring dengan berjalannya waktu, ternyata sastra belajar sesuatu yang hampir mencakup semuanya. Mau bukti, nih ada listnya


:1. Sastra itu ternyata mirip IPA, biologi dan fisika tepatnya. tidak percaya, baca dulu ini :


Pada semester awal, kita mendapatkan pelajaran 'Linguistik Pengantar', di sana kita belajar mengenai dari mana suara berasal, organ-organ tubuh manusia bagian mana saja yang menghasilkan suara. Di bagian mulut mana tiap-tiap huruf dihasilkan. Bibir atas kah? ata langit-langitkah? (Jadi ingat dengan Biologi)


Selanjutnya pada semester berikutnya, kita dapat pelajaran 'Fonologi'. Apa itu? di sana kita belajar bunyi-bunyian, gelombang suara manusia. "fonologi forensik" salah satu konsentrasi dari ilmu ini, yaitu menebak/melacak suara orang dari gelombang suaranya. Bunyi-bunyi huruf dari seluruh bahasa. Gelombang dan Bunyi yang kita temuka di Fisika ketika sekolah dahulu, ternyata masih didapati di sastra :D


2. Sastra Menguak misteri di balik sejarahBelajar sejarah juga?


ya iyalah. Dari novel, kita bisa melihat sejarah ketika buku itu di tulis. Bedanya dengan Prodi Sejarah apa dong? Sastra lebih hebat, sastra menunjukkan tidak sekedar sejarah, tapi ada emosi di dalamnya. Sebut saja buku-buku sastra hindia Belanda, selain sejarah kita juga bisa menemukan emosi yang ada di balik sejarah itu. Contoh, Penindasan kaum wanita pribumi, penganiyayaan terhadap kaum wanita (mungkin ini sudah umum ya). Mungkin yang jarang didengar orang, ternyata ada bangsa penjajah yang jatuh cinta dengan wanita pribumi (sebut saja si W, penulis asal Belanda), yang kita tidak dapatkan di pelajaran sejarah. Hebat kan? menguak sesuatu di balik sejarah yang tidak tercantum di buku sejarah


Ditambah lagi kuliah Kritik Sastra, yang mengajarkan kita untuk menulis resensi yang benar dan mengkritik dengan 'pisau' yang tepat. Kalau di prodi saya, mata kuliah ini sangat menakutkan, bagaimana tidak : semuanya berbahasa belanda dan kita dituntut untuk membuat tulisan berdasarkan teori atau pendekatan yang di luar dari studi kita. Sebut saja, teori dan pendekatan Psikologi dan Sosiologi (teori yang kerap saya pakai). 1 mata kuliah, namun langsung belajar 3 subjek sekaligus (Sastra, Psikologi dan Sosiologi)


3. Kuliah sastra bisa banyak bahasa

Jago bahasa Inggris? wah itu mah banyak sekali sekarang. Bahasa asing lain? masih sedikit. Ayo rebutan untuk menguasai bahasa asing lain. Di FIB ini adalah tempatnya. Disediakan mata kuliah pilihan untuk bahasa asing lain. Selain Belanda (tentang saya) yang wajib di prodi saya, saya sudah pernah mengambil Spanyol, Turki dan Itali (bahasa yang sedang saya ambil semester ini). Ada juga pilihan bahasa lain : Arab, Cina, Jepang, Korea, Ibrani, Portugis, Thailand, Jepang dan masih banyak lagi. Ketika kita berbicara dengan bahasa asing lain kita akan menarik perhatian orang lain dan saat itulah kita menjadi 'stand out' dibandingkan yang lain (fenomena yang terjadi saat ini memang begini). Saya pun bisa merasakannya ketika wawancara pekerjaan. Saya bisa menyombongkan diri saya (bukan mau sombong dalam arti sebenarnya) dengan bahasa asing lain yang saya miliki.


4. Kreatif itu datang dari anak-anak sastra loh


Ada kuliah semantik dan pragmatik. Di sini belajar bermain kata-kata. Kalau anak 'broadcast' belajar cara mengeksekusi untuk membuat iklan, anak sastra lah yang membuatnya menjadi lebih hidup. Di kuliah ini kita diperintahkan membuat iklah dengan menggunana BAHASA sebagai 'power' utamanya. Kita juga diajarkan apa saja yang diperlukan untuk membuat iklan (dasar-dasar dan poin-poin pentingnya). Saya juga terkejut setelah melihat anak-anak kelas saya yang begitu kreatif, hasil projek iklah yang mereka buat, tidak bisa dianggap remeh, teruatama ide-ide orisinil mereka


5. Belajar menghargai waktu


Tugas-tugas di Sastra, ya ampun 'speechlees' buat diterangin. Tidak ada hentinya, dengan waktu singkat yang diberikan kita harus mengumpulkan tugas-tugas tersebut tepat waktu. Dengan ejaan yang harus benar dan berisi, itulah yang dinilai dari tugas-tugas kita. Mungkin kalau di fakultas lain hanya mementingkan isi, kita di sini harus berhati-hati menggunakan ejaan. Bagaimana caranya agar esai kita menarik untuk dibaca dan mendapatkan nilai yang baik.


Apalagi ya? saya kehabisan kata-kata. Di sastra lah saya mendapatkan semuanya. Sastra juga yang sampai sekarang membawa keberuntungan ke hidup saya. Posisi kerjaan yang saya dapat sekarang juga karena latar belakang pendidikan saya yang notabene adalah Sastra Belanda ini. Meski saya tidak terlalu pintar di Kampus namun saya bisa merasakan manfaat jadi anak sastra. Sastra yang membentuk saya dan teman-teman saya, yang pada semester awal bisa dikatakan 'main-main', atau secara harfiah memang kuliah kita main-main di kelas (ternyata hanya di semester awal), Namun setelah bertemu dengan 'Fonologi' , 'Morfologi' , 'Metodologi Penelitian' , 'Kritik Sastra' dan masih banyak kuliah 'dewa' lainnya, saya melihat perubahan dari diri saya dan teman-teman saya, semua berubah menjadi serius, tekun dan lebih bertanggung jawab. Semua itulah yang dibutuhkan saat bekerja kelak, orang yang mampu di semua bidang. Ayo teman-teman sastra, tunjukkan, bahwa Sastra bukan sekedar belajar bahasa asing namun kita pandai di segala bidang. HIDUP SASTRA! :D

2 komentar:

  1. Wah seru yah,,,, aku suka belajar bhs asing. Stelah lulus sma memang rencana aku mau lanjut ke stba. Tp sampai skrg aku blm menemukan universitas mana yg ada fakultas sastra spanyol. Kamu tau ga dmn yg ada sastra spanyol?

    BalasHapus
  2. Sastra belanda angk berapa????

    BalasHapus